Demokrasi terpimpin, juga disebut demokrasi terkelola,
adalah istilah untuk sebuah pemerintahan demokrasi dengan
peningkatan otokrasi. Pemerintahan
negara dilegitimasi oleh pemilihan umum yang walaupun bebas dan adil, digunakan oleh pemerintah untuk melanjutkan
kebijakan dan tujuan yang sama. Atau, dengan kata lain, pemerintah telah belajar
untuk mengendalikan pemilihan umum sehingga pemilih dapat melaksanakan semua
hak-hak mereka tanpa benar-benar mengubah kebijakan publik. Walaupun mengikuti
prinsip-prinsip dasar demokrasi, dapat timbul penyimpangan kecil terhadap otoritarianisme. Dalam demokrasi
terpimpin, pemilih dicegah untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap
kebijakan yang dijalankan oleh negara melalui pengefektifan teknik kinerja humas yang berkelanjutan.
Ada lagi ni sobbb :)
Lahirnya Demokrasi Terpimpin : -->
Dalam sejarah Indonesia, masa
Demokrasi Terpimpin merupakan suatu periode yang cukup penting karena penerapan
sistem ini membawa pengaruh besar dalam berbagai segi kehidupan bangsa
Indonesia. Mengenai kelahiran sistem ini, sebenarnya sudah dilontarkan oleh
Presiden Soekarno sejak tahun 1956. Dan sejak tahun 1957 Presiden Soekarno
mengemukakannya secara formal dengan mengusulkan pembentukan kabinet Gotong
Royong dan pembentukan Dewan Nasional.
Dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Soekarno menyatakan konstitusi 1950 tak berlaku lagi dan memberlakukan kembali
UUD 1945. Sistem pemerintahan presidensial ini dipandang sebagai alternatif
yang sesuai di Indonesia bila dibandingkan dengan sistem Demokrasi Liberal yang
merupakan impor, dan dipandang sebagai upaya kembali kepada semangat revolusi
nasional.
Dengan berlakunya kembali UUD 1945,
Presiden Soekarno langsung memimpin pemerintahan dan bertindak sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan (Perdana Menteri) serta membentuk Kabinet
Kerja yang menteri-menterinya tidak terikat kepada partai.
Konsepsi Presiden Soekarno ini
didasarkan pada penafsiran “terpimpin” dari isi pembukaan UUD 1945, tepatnya
sila keempat Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, dimana “terpimpin” diartikan sebagai
terpimpin secara mutlak oleh diri pribadinya dan menciptakan atribut “Pemimpin
Besar Revolusi, Panglima Tertinggi Angkatan Perang“, sehingga Presiden menjadi
penguasa tertinggi dan mutlak di dalam negara.
Di dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa
presiden adalah mandataris MPR, dengan demikian, presiden berada dibawah MPR.
Namun dalam kenyataannya anggota MPR (S) diangkat berdasarkan penetapan
presiden. Presidenlah yang harus menentukan apa saja yang akan diputuskan MPR
(S). Hal ini berarti bahwa UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan
konsekuen. Sebagai akibatnya, terjadi ketidakstabilan kehidupan ketatanegaraan
terutama dalam bidang politik. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa tindakan
Soekarno yang otoriter seperti menetapkan Manipol (Manifesto Politik) sebagai
GBHN (Pen-Pres no. 1 tahun 1960), pembubaran DPR hasil Pemilu (Pen-Pres no. 3
tahun 1960, pembentukan DPR Gotong Royong untuk mengganti DPR hasil Pemilu yang
dibubarkan (Pen-Pres no 4 tahun 1960 ). Begitu pula dalam penggantian ketua,wakil
dan anggota, wakil dan anggota DPR-GR, Presiden Soekarno Pen-Pres tanpa meminta
persetujuan lembaga legislatif yang ada, tetapi menurut keinginan Soekarno
sendiri”.
Tindakan Presiden Soekarno yang
inkonstitusional ini menimbulkan perpecahan dalam negeri, terutama dengan
angkatan bersenjata di bawah Nasution. Selain dengan Nasution, Soekarno
memandang Masyumi dan PSI sebagai penghalang kebijaksanaan yang akan
diambilnya, apalagi dikaitkan dengan pemberontakan PRRI/Permesta, di mana
menurut Soekarno; militer, Masyumi dan PSI terlalu lemah dalam menangani
masalah PRRI tersebut.
Kini Indonesia bergerak menuju
radikalisme yang akan memberi peluang kepada PKI untuk berkembang walaupun
walaupun masih menghadapi permusuhan dengan pihak tentara. Tersisihnya tentara
di dalam pandangan Soekarno dan semakin dekatnya PKI merupakan gambaran inti
kehidupan atau suasana politik masa awal demokrasi terpimpin yang dalam
beberapa tulisan Soekarno dicap sebagai diktator. Namun oleh beberapa sejarawan
menolak anggapan tersebut, seperti pendapat Prof. Legge (guru besar sejarah
dari Universitas Monash, Melbourne) yang dikutip oleh Moedjanto yakni sebagai
berikut:
Betapapun juga besarnya kekuasaan
Soekarno tetapi pemusatan kekuasaan secara riil tidak ada padanya. Yang nampak
justru pembagian kekuasaan dengan kekuatan sosial politik lain meskipun tidak
secara koinstitusional. ia tidak mengambil keputusan secara egosentris tetapi
bermusyawarah dulu meski ia yang paling menentukan. Seorang dikataor membrangus
pers dan memenjarakan lawan politiknya dalam suatu kamp konsentrasi adalah hal
biasa. Tetapi di jaman Soekarno pembrangusan pers dan pemenjaraan lawan
politiknya hanya merupakan suatu kekecualian, tidak merupakan hal yang umum’’
Meski diakui bahwa situasi politik
pada masa awal demokrasi terpimpin tidak stabil namun untuk mengatakan bahwa
Soekarno seorang diktator diperlukan penelaahan yang lebih mendalam. Namun
dapat disimpulkan bahwa tindakan Soekarno dalam menerapkan Demokrasi
menimbulkan pro dan kontra, begitu juga penilaian terhadap tindakannya.